LOGIKA DAN DINDA

Di sebuah kafe yang cahaya lampu ruangannya menjadi keping-keping, saya menyenderkan badan pada dinding kafe yang terbuat dari bilik. Teman saya, si pengguna celana jeans dan sendal capit sejati, mereguk cairan kental banana split!. Teman yang satunya lagi, menggetuk-ngetukkan jemarinya setelah mengatakan “Kita dilahirkan ke dunia tak berbekal busana alias telanjang, lantas kenapa wanita seperti saya harus menutup aurat!?”.

Selesai menikmati seteguk cairan –yang bagi saya rasanya sepet dimulut–, teman saya kemudian menjawab pernyataan itu dengan anggun “Hei, hei hei, bukan berarti sesuatu yang dimunculkan apa-adanya kedunia dapat dijadikan pembenaran. Seandainya apa adanya atau kondisi awal ketelanjangan manusia dijadikan pembenaran, untuk tidak menutup aurat, maka atas dasar pembenaran cinta –yang dimiliki manusia–, seorang anak berhak berhubungan seks dengan
ibunya. Seorang homoseks dan lesbi berhak melakukan hubungan seks atas nama pembenaran cinta pula!. Menutup aurat diharuskan, atas dasar ketaatan seorang hamba terhadap aturan Tuhan-nya!”.

Ada-ada saja logika yang dipakai teman saya untuk memulangkan seorang muslimah kepada rumah kesadarannya dihadapan Tuhan. setelah beberapa logika dan kesombongan terpatah, bincang-bincangpun selesai! Sepulangnya dari sana saya berjalan-jalan melihat kota bandung dengan sejuta daya pikatnya. Malam minggu. Jalan protokol sesak oleh kerumunan. Remaja-remaja memadukan pakaian yang didapatkannya dari distro ini dengan celana jeans ketat, atau rok ala komik jepang dari clothing company itu. Wanita Bandung yang menggiurkan, tumpah ruah di Jalan. Di hingar suara klakson dan musik yang menggairahkan, tubuh ratusan keturunan hawa, menggeletar seperti agar-agar ketika baru dikeluarkan dari wadahnya. Plak!, jidat saya timpahkan ke dahi. Saya kembali teringat, beberapa tahun silam ketika saya sering melihat anak-anak kuliahan memperlihatkan (maaf) celana dalam berendanya sewaktu turun dari angkutan kota.

Pusing kepala ini -waktu itu–. Sampai-sampai, saya bekeinginan memperkosa mereka. Bagaimana tidak melelahkan?, ketika berusaha mengekang keinginan memperkosa, badan-badan itu terus memagneti diri, hingga saya kesulitan untuk menghindari kekuatan negatif kutub naluri yang berusaha sekuat tenaga menyeret saya.

Seperti teman-teman yang sering nongkrong di masjid, –waktu itu– saya berusaha menundukan kepala ketika berjalan di aspal atau trotoar. Tetapi menundukkan wajah ternyata bukan solusi untuk saat itu, sebab –dalam ketertundukkan sesempurna apapun– saya selalu melihat betis-betis wanita yang menimbulkan reaksi yang sama ketika melihat pakaian dalam wanita di dalam angkot. Seandainya menundukan kepala lagi, bagimana saya mau melihat jalan?. Kejadiannya, bisa-bisa kepala kepentok plang atau bertubrukan dengan wadam.

Ah, saya sudah tidak kuat. Maka saya mulai memikirkan solusi parsial yang layak supaya –setidaknya– teman-teman satu kampus, tidak melakukan hal-hal yang membuat animal insting saya meledak-ledak. Maka sewaktu perkuliahan dimulai, saya yang biasa duduk dibelakang, maju ke depan teman wanita yang giat memamerkan celana dalam seperti –celana dalam—manekin yang dijejerkan di etalase counter underwear. Membelakangi tempat duduknya saya lantas mengangkat dan menalikan ujung bawah kemeja sambil menyengajakan, bongkok menundukkan badan. Hal itu saya lakukan, supaya celana dalam saya –yang waktu itu harganya sepuluhribuan tiga, kelihatan. Cengar-cengir –saya kira berhasil!–, ternyata dengan santunnya, wanita itu malah membereskan kemeja saya dari belakang. Ia rapikan lipatannya sambil berkata, “Jar celana dalam kamu kelihatan tuh!” senyumnya teramat cerlang, ikhlas keluar dari hati. Dan hati sayapun menangis berdarah, darah!.

Sejak kejadian itu saya mulai berfikir : banyak wanita-wanita yang berbusana minimalis tetapi hatinya baik. Lantas mengapa saya tidak mengingatkannya dengan baik?. Bukankah saya sadar karena diingatkan dengan santun?. Waktu berlomba dengan umur. Bukan sekedar menundukkan wajah, sekarang saya sudah mampu menundukan fantasi naluri ketika harus berhadapan dengan seorang
wanita yang menyengajakan diri, tak menutup sex appeal-nya. Bersukur, saya telah mengalihkan naluri seks dengan mengalihkan naluri itu ke pada dunia pikiran. Saya mulai menyelami buku-buku dan belajar dari satu diskusi ke diskusi –yang terkadang maraton diadakan setiap harinya.

Seperti halnya diskusi yang saya ungkap diatas, saya senantiasa belajar untuk mengagumi kekuatan logika dan psikologi teman saya –yang doyan banana split itu. Setiap ada teman-teman wanita yang belum belajar menutup aurat maka saya pertemukan mereka dengannya. Biasanya, setelah bertemu dan berdiskusi dengannya, wanita-wanita itu mulai merasa tidak nyaman dengan pakaian yang mereka lekatkan dibadan.

Ada sebuah kisah teman saya, yang hingga saat ini selalu saya jadikan
senjata untuk menyantuni kesadaran wanita muslim yang belum mau belajar untuk menutup aurat. Beberapa tahun lalu, di dalam sebuah bus menuju sebuah kota, seorang wanita duduk disamping teman saya. Setelah lama memperbincangkan segala macam hal, teman saya mendapat celah untuk bertukar informasi mengenai “sensitifitas” yang dihindari wanita remaja.

“Dinda, kamu merasa nyaman nggak, kalau tubuh Dinda dilihat lelaki dengan tatap kebinatangan, bukan malah dilhat dengan tatap kekaguman?”
“Ya nggak lah!. Siapa sih yang merasa nyaman ditatap dengan maksud pelecehan. Terus terang, Dinda juga merasa takut kalau Dinda jalan-jalan ke dekat pasar sebab tukang-jualan sering ngeganggu Dinda dengan siulan, dengan ucapan dan tatapan mereka”.
“Kalau di Mall atau di kampus, kamu ngerasa di telanjangi dengan tatapan nggak?”
“Dinda ngerasa iya. Soalnya yang namanya laki-laki hampir sama saja,” sejenak tertawa “kalau dikampus dan di Mall sih, sedikit aman!, soalnya orang-orang yang berpendidikan pandai menyebunyikan perasaaan. Tapi kalau mau jujur, aku masih ngerasa nggak nyaman juga”.
“Eh Din, kenapa nggak nutup aurat aja sekalian, maksudnya menggunakan jilbab?”
“Ha…ha…ha pengennya sih nutup aurat, soalnya Dinda juga sering dijewer kalau pakai pakaian seperti ini. Masalahnya Dinda belum dapet hidayah!.”
“Hm… kalau saya boleh sok tahu, hidayah bukan sesuatu yang merasuk ke dalam jiwa secara tiba-tiba, lho Din!. Hidayah bukan pula sesuatu yang datang seperti halnya ketika seorang sufi trance. Hidayah itu adalah petunjuk, dan petunjuk itu telah ada. Dinda baca quran nggak?”
“Ya!”
“Quran itu petunjuk!. Dinda melihat alam semesta dan merasakan
kebesarannya?”
“Ya!”
“Alam semesta pun petunjuk!. Dinda memiliki akal untuk melakukan
kontemplasi?”
“Tentu!”
“Dan akal pun adalah petunjuk!. Bagaimana mungkin Dinda mengatakan belum mendapat hidayah atau petunjuk, sementara petunjuk itu telah berpijar-pijar, mengobori diri Dinda?. Bagaimana mungkin Dinda mengatakan belum mendapat petunjuk sementara Dinda memiliki kitab yang mulia (Quran), Dinda melihat petunjuk berupa alam semesta, Dinda memiliki akal untuk memikirkan dan
merenungkan perintah Allah yang tertera di dalam Quran,” menghela nafas
“Dinda… petunjuk itu sudah nyata dihadapan Dinda. Tinggal Dinda memilih meniti jalan yang telah disinari petunjuk Ilahiah atau jalan yang tidak disinari. Pilihan ada di Dinda!”
Mata Dinda meretup, kinerja kimiawi syaraf-syaraf matanya, menggumpalkan air bening, yang kemudian menggulir dalam bentuk kristal.
“Tahukah kamu bidadari Dinda?”
Terisak “Bidadari adalah mahluk mulia yang dikatakan kisah-kisah bahwa seluruh manusia akan terhenyak ketika ia menampakkan sekelumit wajahnya dari balik awan. Tetapi pada suatu saat, ketika masa telah berhenti dan manusia sempurna di pindahkan ke surga, Dinda berjalan-jalan di sebuah pelataran. Di sana rerumputan yang lembut serasa bantal, Dinda jejakan. Penglihatan Dinda dimuati pemandangan yang menyilaukan namun nyaman, Dinda menangkap kupu-kupu warna pelangi menggunakan telapak tangan. Dinda menangkap geletaran-geletaran air terjun berair anggur, dan dari celah-celah batu permata yang menyangganya, madu dan susu murni mengalir perlahan. Air terjun menguapkan kabut. Kabut segera turun ditelan permukaan air. Dinda mendengarkan gemerincing gelang yang terbuat dari emas yang –gemerincingnya— muncul dari gerakan gemulai 40 bidadari. Dinda terhenyak oleh kecantikan mereka, sebuah ranting berderak, ke 40 bidadari itu terkejut. Mereka melihat kearah Dinda. Dalam ambang sepersekian detik –setelah melihat wajah Dinda– mereka segera menundukan wajahnya. Rona raut wajah mereka bersemu merah. Mereka malu, seperti halnya seorang kekasih yang diluapi kebahagiaan cinta. Dinda menghampiri salah satu diantara mereka, kemudian bertanya “Mengapa kalian menudukkan wajah kalian yang cantik?. Mengapa kalian menundukan wajah
–yang seandainya– kalian tampakkan ke bumi, maka seluruh penghuni bumi akan terhenyak?”. Seorang bidadari tercantik, menjawab pertanyaan –masih dengan ketertundukan yang sama– “Kami menunduk sebab wajah ananda lebih cantik dari kami. Sebab kecantikan yang keluar dari wajahmu merupakan kecantikan yang didapat dari kepatuhan terhadap perintah-Nya di dunia!. Sebab, kecantikan yang memancar di wajahmu itu, tumbuh dan memekar, dari keikhlasan hati seorang hamba yang mulia!”. Dan dari pipi satu mahluk Allah itu, bermekaran warna merah yang berpendar. Ya! Warna merah yang mengalahkan lukisan kirmizi pada pipi ke-40 bidadari yang mulia dengan berbuatan yang mulia.

Dengan isak keharuan seorang wanita, kisah itupun berakhir. Dan teman saya-pun melangkahkan kaki dari undakan bus, masih dengan perasaan yang sama sebelum bertemu wanita bernama Dinda. Tak ada gelora kemenangan di dalam hatinya. Sewajarnya, ia hanya berlalu. Melayang begitu saja, diantara crowd kehidupan manusia, yang menyesakan jiwa.[Divan]

Leave a comment